Oleh Bah Asmul (Tim Redaksi)
Cipadung - Langit masih gulita ketika para santri Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islamy (PPMU) bergegas menuju Majelis Baru. Udara Subuh Maret 2025 menyelinap di sela kain sarung mereka, menambah dingin yang menusuk. Tapi langkah mereka tetap tegap, bukan hanya karena panggilan ibadah, melainkan karena kajian yang akan menghidupkan kesadaran: apa arti kepemimpinan dalam Islam?
Abi Tatang, Ketua Dewan Pengasuh PPMU, membuka kajian dengan sebuah pertanyaan yang lebih tajam dari pedang: "Apa yang membuat seseorang layak disebut pemimpin?" Sejenak sunyi. Lalu, di tengah hening yang sarat makna, ia menjelaskan bahwa kepemimpinan bukan sekadar gelar atau kuasa. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menaklukkan dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Seperti puasa yang bukan hanya menahan lapar, tetapi juga melatih kesabaran, keteguhan, dan kesadaran diri.
Di PPMU, kepemimpinan bukan sekadar teori yang dihafal, melainkan nilai yang dijalani. Dewan Santri menjadi laboratorium nyata bagi mereka yang kelak akan mengemban tanggung jawab lebih besar. “Dewan ini bukan tempat menikmati kuasa, tapi ruang untuk menempa diri,” ujar Abi Tatang. Seorang pemimpin sejati tidak bekerja demi kepentingan pribadi, tetapi untuk menciptakan makna bagi orang-orang di sekitarnya. Ia tidak terjebak dalam transaksi politik yang sempit, melainkan meniti jalan transendental: menghubungkan kepemimpinan dengan nilai spiritual yang lebih tinggi.
Dalam Islam, kepemimpinan bukan tentang ambisi, tetapi amanah. Ambisi boleh ada, selama dilandasi niat baik dan dijalankan dengan komitmen. Namun, integritas saja tidak cukup. Seorang pemimpin harus memiliki kepekaan. Abi Tatang, yang bernama lengkap Dr. KH. Tatang Astarudin tersebut, berujar, “Pemimpin sejati merasakan penderitaan yang dipimpinnya, seperti puasa mengajarkan kita merasakan lapar mereka yang kurang beruntung.” Kepemimpinan bukan hanya tentang memerintah, tetapi juga tentang memahami dan melayani.
Saat kajian berakhir dan fajar mulai menyingsing, para santri melangkah keluar dengan semangat baru. Mereka sadar, menjadi pemimpin bukan soal kehormatan yang diterima, tetapi tentang jejak kebaikan yang ditinggalkan. Sebab kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling siap berkorban.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar