13 Maret 2025

Harta

Oleh Bah Asmul (Tim redaksi)

Cipadung - Pada malam yg penuh keberkahan, Kamis (13/3/25), setelah deretan rakaat tarawih terjalin dg doa dan penghambaan, Dr. KH. Tatang Astarudin, Ketua Dewan Pengasuh Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islamy (PPMU), Kota Bandung, duduk di hadapan para santri. Suaranya tenang, namun menembus hati. Malam itu, ia membahas ttg harta: sesuatu yg menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, tp sering kali menjadi ujian terbesar.

Harta: Milik Siapa?

"Kita selalu menganggap harta sbg milik kita, tp sejatinya, semuanya adalah milik Allah," ujar Abi Tatang, sapaan akrabnya. "Manusia hanya pemegang amanah. Harta bukan warisan abadi, melainkan titipan yg kelak akan dipertanggungjawabkan."

Dlm Islam, konsep ini jelas. Manusia diberikan harta bukan utk dikumpulkan semata, tetapi utk digunakan sesuai kehendak-Nya. Harta bukan cuma kekayaan materi, melainkan jg ilmu, kesempatan, dan kekuasaan.

Dari Amanah Kecil Menuju Amanah Besar

Ketua Dewan Pengasuh PPMU ini melanjutkan, "Jika seseorang dpt mengelola amanah kecil dg baik, Allah akan mempercayakan amanah yg lbh besar kepadanya." Prinsip ini bukan hanya berlaku dlm kepemimpinan, tp jg dlm pengelolaan rezeki.

Seorang pedagang jujur yg menjaga timbangan dagangannya akan diberkahi dlm perniagaannya. Seorang pekerja yg ikhlas dlm tugasnya akan mendapatkan jalan rezeki yg lebih luas. Harta yg diperoleh dengan cara yg baik dan dikelola dg amanah akan membawa keberkahan.

Naluri Manusia dan Kebijaksanaan Islam

Islam tdk menafikan manusia memiliki naluri utk mencari harta. "Tapi, Islam jg memberikan batasan agar kita tdk diperbudak olehnya," kata dosen Program Pascasarjana UIN Bandung itu. Naluri ini adalah bagian dari fitrah, tetapi hrs dikendalikan dg akhlak dan nilai-nilai agama.

Allah tdk melarang manusia mencari kekayaan, tp melarang keserakahan. Tidak dilarang untuk memiliki rumah yg besar, tetapi dilarang jika kebesaran itu mengubur kepedulian pada sesama.

Harta: Wasilah, Bukan Tujuan

"Harta itu hanya wasilah," lanjutnya, "bukan tujuan. Ia adalah tanggung jawab, bukan kekuasaan." Sering kali manusia terjebak dlm ilusi bhw semakin banyak harta, semakin berkuasa. Padahal, semakin banyak harta, semakin besar hisabnya.

Jika seseorang memandang harta sebagai alat, ia akan menggunakannya utk kebaikan: menyantuni anak yatim, membangun masjid, atau membantu mereka yg kesulitan. Tetapi jika harta menjadi tujuan, maka ia hanya akan menjadi beban.

Penyesalan di Ujung Usia

"Saat ajal datang, semua orang akan menyesal," kata Abi Tatang, dg suara berat. "Menyesal karena tdk sempat bersedekah, tidak cukup beramal, dan tidak cukup menyiapkan bekal akhirat."

Berapa banyak orang yg di puncak kejayaan dunia, tetapi jiwanya hampa? Berapa banyak orang yh menyesali hartanya karena tdk pernah benar² menikmatinya dalam arti yg orisinil?

"Menguasai harta bukan cuma memiliki, tetapi memanfaatkannya dg baik," tegas Abi Tatang. Jika seseorang memiliki harta, hendaknya ia bertanya: apakah harta ini membawa manfaat atau justru menjauhkan dari keberkahan?

Jebakan Harta

Di akhir kajian, abi Tatang menekankan bahwa harta adalah amanah yang harus dikelola dengan baik. Namun, dalam praktiknya, banyak yang terjebak dalam riba, gharar, dan maysir—tiga hal yang merusak keberkahan.

Ketika seseorang terpaksa menjual hartanya karena kesulitan (dhoror), ada risiko eksploitasi, terutama jika pembeli memanfaatkan keadaan untuk mendapatkan harga murah. Ini bertentangan dengan prinsip keadilan Islam, di mana transaksi harus dilakukan secara sukarela dan tanpa tekanan.

Seperti yang disampaikan dalam kajian, harta bukan cuma kepemilikan, tetapi tanggung jawab. Oleh karena itu, dalam menghadapi kesulitan ekonomi, Islam mengajarkan solusi berbasis keadilan—seperti sedekah, zakat, dan pembebasan utang—agar tidak ada pihak yang terjebak dalam sistem yang merugikan dan menghilangkan keberkahan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar