05 Maret 2025

Keberkahan

Oleh Seha (Tim Redaksi)

Cipadung - Apakah yang membuat hati menjadi tenang? Apakah yang menjadikan harta lebih bermakna? Di balik kepemilikan dan kelimpahan, ada satu hal yang sering terlupa—bahwa setiap rezeki yang kita genggam, sejatinya bukanlah milik kita sepenuhnya. Ada hak orang lain di dalamnya, ada amanah yang harus ditunaikan.

Di bawah langit pesantren yang teduh, di antara dinding-dinding yang menyimpan ribuan doa, suara Novia, Ketua Dewan Santri Putri, menggema dengan penuh makna. Ia berdiri di hadapan para santri, menyampaikan sesuatu yang bukan sekadar hukum, tetapi juga cahaya. Tentang zakat, tentang ibadah yang tidak hanya menyucikan harta, tetapi juga membersihkan hati.

"Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk." (QS. Al-Baqarah: 43)

Ayat itu mengalir dari bibirnya, menembus hati yang mendengarkan. Dengan suara yang tegas namun penuh kelembutan, Novia menjelaskan bahwa zakat bukan sekadar hitungan matematis. Ia adalah hujan yang menyegarkan tanah kering, membasuh kerak-kerak duniawi yang menempel dalam jiwa. Zakat berasal dari kata zakā yang berarti menyucikan, ucapnya. Seperti air yang membersihkan kaca dari debu, zakat membersihkan hati dari kikir, dari ketamakan, dari rasa memiliki yang berlebihan.

Di bulan Ramadhan ini, zakat fitrah hadir sebagai penyempurna ibadah puasa. Ia bukan hanya sekadar 2,5 hingga 3 kg beras yang diberikan kepada yang berhak, melainkan simbol kepedulian, tanda bahwa seorang muslim tidak hidup sendiri. "Zakat fitrah itu ringan," kata Novia, "tetapi dampaknya luar biasa. Ia tidak hanya membersihkan jiwa orang yang memberi, tetapi juga menghadirkan kebahagiaan bagi yang menerimanya."

Namun, zakat tidak berhenti di situ. Ada zakat mal, zakat yang berkelindan dengan harta yang kita miliki. Ia adalah pengingat bahwa rezeki yang kita genggam hari ini, sebagian di antaranya adalah hak orang lain. "Setiap dinar yang kita simpan, setiap hektar tanah yang kita miliki, setiap emas dan perak yang kita tumpuk, semuanya akan ditanya. Dan jawaban terbaiknya adalah zakat."

Zakat, kata Novia, adalah jembatan antara langit dan bumi. Secara vertikal, ia adalah tanda kepatuhan kepada Allah. Secara horizontal, ia adalah bukti bahwa kepedulian masih hidup di dunia ini. Zakat adalah jabat tangan yang menghubungkan mereka yang berkecukupan dengan mereka yang kekurangan, mereka yang memberi dengan mereka yang menerima.

"Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat," lanjut Novia. "Fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang berutang, pejuang di jalan Allah, dan musafir yang kehabisan bekal." Setiap mereka bukan sekadar penerima, tetapi bagian dari sistem sosial yang ingin Islam tegakkan—sebuah sistem di mana tidak ada yang tertinggal, di mana setiap orang memiliki harapan.

Malam semakin larut, tetapi cahaya ilmu yang terpancar dari kajian itu tetap bersinar di hati para santri. Zakat bukan hanya soal harta yang berkurang, melainkan tentang keberkahan yang semakin melimpah. Ia bukan sekadar memberi, tetapi menerima lebih banyak dari yang tampak.

Sebab, apa yang kita lepaskan dengan ikhlas, akan kembali dengan cara yang lebih indah. Apa yang kita berikan dengan tulus, akan menjadi pelita yang menerangi jalan kehidupan. Dan zakat, pada akhirnya, adalah tentang penyucian—bukan hanya atas harta, tetapi juga atas jiwa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar