03 Maret 2025

Ikhtiar

Oleh Alif (Tim Redaksi)

Cipadung - Pernahkah kita merasa takut untuk melangkah? Pagi itu, udara masih dingin ketika langkah-langkah santri mulai memenuhi halaman Pondok Pesantren Mahasiswa Universal (PPMU). Langit di ufuk timur masih berwarna jingga samar, sementara embusan angin membawa aroma embun yang masih segar di dedaunan. Suasana syahdu seolah menjadi saksi perjalanan ilmu yang akan dimulai.

Di dalam aula utama, para santri sudah memenuhi tempat duduk. Ada yang duduk bersila dengan kitab kecil di tangan, ada pula yang mencatat dengan tekun. Cahaya lampu berpendar lembut, menciptakan suasana yang begitu khidmat. Di depan mereka, berdiri seorang lelaki bersorban putih dengan jubah bersih yang menjuntai. Abi Tatang, panggilan akrab Dr. KH. Tatang Astarudin, melangkah pelan menuju podium, pandangannya teduh namun penuh wibawa. Sebuah pertanyaan menggantung di udara, bukan dalam kata-kata, tapi dalam sorot matanya

.Dua Sayap Ikhtiar

"Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang berusaha mengubahnya." Kata-kata itu bergema dalam aula yang sunyi. Setiap suku kata terasa berat, bukan karena beban, tetapi karena makna yang dikandungnya. Beberapa santri menunduk, merenungi, sementara yang lain buru-buru mencatat.

"Ikhtiar itu seperti burung yang memiliki dua sayap: usaha dan doa. Jika hanya memiliki satu, ia tidak akan bisa terbang," lanjut Abi Tatang yang juga Ketua Dewan Pengasuh PPMU. "Burung selalu keluar di pagi hari dengan perut kosong dan pulang di malam hari dengan perut penuh. Ia tak pernah tahu apakah ada makanan hari itu, tetapi ia tetap terbang, berusaha, dan percaya pada rezeki Allah."

Seorang santri di barisan belakang menghela napas pelan. Barangkali ia baru saja memahami sesuatu yang selama ini hanya menjadi teori.

Hijrah dan Transmigrasi: Bergerak atau Diam?

Pembahasan berlanjut. Kini tema bergeser ke sesuatu yang lebih besar—transmigrasi. Beberapa santri saling berpandangan. Kata itu terdengar begitu asing, seolah ada dunia lain yang menanti di luar sana.

"Banyak orang takut meninggalkan kampung halaman, takut meninggalkan zona nyaman. Tapi tahukah kalian? Hijrah adalah bagian dari perjalanan spiritual," ujar KH. Tatang. "Para sahabat Rasulullah berhijrah, bukan hanya untuk menyelamatkan diri, tetapi untuk mencari keberkahan di tempat baru."

Ia lalu bercerita tentang para perantau yang kini hidup mapan setelah berani melangkah. Dari seorang pedagang kecil di Madinah yang tak kenal lelah hingga para transmigran yang kini membangun kehidupan baru di Sulawesi dan Kalimantan. 

"Bumi Allah luas, rezeki ada di mana-mana. Tapi hanya mereka yang berani bergerak yang bisa menemukannya."

Perubahan Sosial: Vertikal dan Horizontal

Abi Tatang mengangkat tema berikutnya: perubahan sosial.  "Perubahan bisa terjadi dalam dua arah: vertikal dan horizontal," katanya. "Perubahan vertikal terjadi saat seseorang naik statusnya, entah karena ilmu, ekonomi, atau perjuangan. Seorang santri dari desa bisa menjadi pemimpin besar suatu hari nanti jika ia berusaha."

Santri-santri mengangguk pelan. Barangkali mereka mulai membayangkan diri mereka sendiri di masa depan.

"Sementara perubahan horizontal terjadi saat kita berpindah ke lingkungan baru. Kita tak bisa mengubah mereka, tapi kita harus beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Itulah kunci bertahan."

Takut Berubah atau Takut Diam?

Matahari mulai menyelinap melalui jendela aula, menorehkan cahaya di lantai yang dingin. Pengajian telah berlangsung lebih dari dua jam, namun rasanya waktu berlalu begitu cepat.

Abi Tatang memandang wajah-wajah di hadapannya. Ada yang termenung, ada yang penuh semangat, ada yang merenungi kehidupannya sendiri.

"Kita semua adalah musafir di dunia ini," katanya pelan. "Transmigrasi hanyalah satu bentuk perjalanan. Tetapi sesungguhnya, hidup kita adalah perjalanan panjang menuju Allah."

Seorang santri mengepalkan tangannya. Seolah ada kobaran api baru dalam dirinya.

"Jangan takut pada perubahan. Takutlah jika kalian tidak bergerak sama sekali."

Kata-kata itu menggema, meresap dalam setiap hati. Di luar sana, langit sudah benar-benar cerah. Seolah memberi tanda bahwa hari baru telah dimulai—dan ikhtiar baru harus dilakukan.

Dan di akhir pengajian, hanya satu pertanyaan yang tersisa di benak setiap santri:

Akankah aku tetap diam atau mulai bergerak?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar