Oleh Salman (Tim Redaksi)
Cipadung - Ramadhan itu seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—membasahi jiwa yang haus, menyejukkan hati yang kering. Namun, seberapa sering kita benar-benar merasakan kesegarannya? Atau jangan-jangan, kita hanya berdiri di pinggir hujan, enggan basah, sekadar menonton berkah itu lewat?
Di Pondok Pesantren Mahasiswa Universal (PPMU), malam itu tak seperti biasanya. Langit masih menyisakan jejak jingga di ufuk barat, seolah enggan beranjak dari hari yang penuh berkah. Santri-santri duduk bersila dalam majelis, membentuk lingkaran yang hangat. Aroma tanah basah dari hujan sore bercampur dengan wangi teh hangat yang tersaji di sudut ruangan. Semua mata tertuju pada satu sosok di depan—Kang Wawa, Ketua Dewan Santri yang baru.
Dengan suara teduh, ia bertanya, “Mengapa Ramadhan disebut lebih baik dari seribu bulan?”
Hening. Tak ada yang langsung menjawab. Seperti pertanyaan yang tak sekadar butuh jawaban, tapi perenungan.
“Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus," lanjut Kang Wawa. "Ia adalah bulan di mana kita diuji untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Seperti pohon yang meranggas di musim kemarau, lalu kembali hijau saat hujan tiba, kita juga diberi kesempatan untuk bertumbuh di bulan penuh berkah ini.”
Santri-santri menyimak dalam diam. Di antara mereka, ada yang menggigit bibir, merenung. Ada yang sibuk mencatat. Ada pula yang menatap kosong ke lantai, seolah mencoba mencari jawaban dalam dirinya sendiri.
Kang Wawa melanjutkan dengan kutipan sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Betapa seringnya kita mendengar hadits ini, tapi seberapa dalam kita memaknainya?
Malam yang Lebih Baik dari Seribu Bulan
Angin malam berhembus lembut, membuat beberapa santri menarik sarung mereka lebih erat. Suara jangkrik terdengar dari kejauhan, berpadu dengan keheningan yang menyelimuti ruangan.
Kang Wawa kembali berbicara, kali ini tentang malam yang paling dinanti di bulan suci: Lailatul Qadar.
“Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bayangkan, satu malam yang nilainya setara dengan 83 tahun ibadah. Tapi apakah kita benar-benar mempersiapkan diri untuk meraihnya?”
Kembali, ruangan dipenuhi keheningan.
Tapi suasana itu tak berlangsung lama. Kang Wawa tersenyum tipis, lalu berkata, “Tapi ingat, Ramadhan itu bukan hanya tentang seribu pahala, tapi juga seribu takjil. Jangan sampai ibadahnya semangat, tapi pas waktu berbuka malah kelewat.”
Tawa kecil pecah di antara para santri. Sebuah candaan ringan yang seolah membangunkan mereka dari keseriusan yang mendalam.
Ramadhan Sebagai Jalan Perubahan
Sebagai penutup, Kang Wawa menatap para santri dengan penuh makna.
"Ramadhan bukan hanya tentang bagaimana kita beribadah selama sebulan, tetapi tentang bagaimana kita membawa perubahan itu ke bulan-bulan berikutnya. Jika setelah Ramadhan kita masih sama seperti sebelumnya, maka kita perlu bertanya: sudahkah Ramadhan benar-benar mengubah kita?"
Malam itu, kultum Kang Wawa tidak hanya menjadi sekadar ceramah, tetapi juga sebuah pengingat yang mendalam.
Ramadhan adalah ladang emas bagi siapa saja yang ingin menuai keberkahan, dan setiap orang memiliki kesempatan untuk meraihnya—asal ada niat dan usaha yang sungguh-sungguh.
Di luar, bulan menggantung di langit, bersinar dengan tenang. Seolah ikut menjadi saksi—bahwa di dalam majelis kecil ini, ada jiwa-jiwa yang sedang berjuang menemukan makna.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar