Oleh Aang (Tim Redaksi)
Cipadung - Sholat itu seperti mercusuar di tengah lautan gelap. Ia adalah cahaya yang menuntun, menjaga agar manusia tidak terombang-ambing dalam arus kehidupan. Namun, cahaya itu tidak akan menerangi jika lampunya redup, jika hatinya kosong, jika rukunnya sekadar gerakan tanpa makna. Pagi itu, saat embusan angin subuh menyelinap ke jendela, para santri Pesantren PPMU duduk bersila, membuka lembar demi lembar kitab Sulamul Munajat, mencari jalan agar sholat mereka tak sekadar menjadi rutinitas, tetapi benar-benar menjadi tameng dari maksiat.
Di bawah cahaya lampu yang temaram, hamparan karpet merah menjadi saksi kesungguhan mereka. Ada yang duduk tegap dengan mata berbinar penuh perhatian, ada yang sesekali mengusap kantuk, namun tetap bertahan. Pukul 05.23 WIB, kajian dimulai, dibimbing langsung oleh K.H. Deden Rohidin, seorang guru yang suaranya tenang namun menusuk ke relung hati.
"Sholat itu bukan sekadar kewajiban," ucapnya lembut, tangannya membalik halaman kitab. "Ia adalah penjaga, penyeimbang, pelindung dari segala yang mengotori jiwa."
Beliau mengutip firman Allah, "Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." Sejenak, ruangan terasa semakin hening. Para santri menyimak dengan khidmat, mencoba menangkap makna di balik setiap kata.
Mengurai Syarat, Menemukan Makna
Kitab Sulamul Munajat bukanlah kitab tebal yang penuh istilah sulit. Ia tipis, tetapi padat dengan hikmah. Pagi itu, pembahasan sampai pada bab syarat sholat. K.H. Deden Rohidin menjelaskan dengan telaten—tentang bagaimana suci pakaian, badan, dan tempat dari najis menjadi hal yang tak bisa ditawar.
"Najis yang tidak dimaafkan dalam sholat itu apa saja?" tanyanya, menguji pemahaman para santri.
"Darah, nanah, khamar, air kencing…" seorang santri menyebutkan dengan suara pelan.
Beliau mengangguk, tersenyum. "Benar. Maka hati-hati dalam menjaga kesucian, karena kebersihan lahir adalah cerminan kebersihan batin."
Tak semua syarat dijelaskan hari itu, tetapi intisarinya telah meresap ke benak para santri: sholat yang diterima bukan hanya tentang gerakan yang benar, tetapi juga tentang bagaimana hati dan tubuh bersih sebelum menghadap-Nya.
Sholat yang Menjaga
Di antara para santri, ada yang terdiam, merenung lebih dalam. Ada yang tersenyum tipis, seperti menemukan jawaban dari kegelisahannya sendiri. Ada pula yang mencatat dengan rapi, berusaha mengingat setiap detail.
"Kitab ini luar biasa," ujar seorang santri dengan mata berbinar. "Penjelasannya sangat jelas, membuat kami lebih memahami sholat dengan cara yang berbeda."
Targetnya jelas—Ramadhan ini, kitab harus khatam. Tetapi lebih dari itu, harapannya lebih besar: agar setiap santri tidak sekadar hafal hukum-hukum sholat, tetapi benar-benar menjalankannya dengan penuh kesadaran.
Saat mentari mulai menampakkan sinarnya, kajian pun berakhir. Namun, satu hal tetap tinggal—kesadaran bahwa sholat bukan hanya kewajiban, tetapi juga tameng. Tameng dari kelalaian, tameng dari hawa nafsu, tameng dari dunia yang sering kali menyesatkan.
Dan di balik setiap rukuk dan sujud, ada munajat yang lirih—doa agar sholat mereka benar-benar menjadi cahaya, bukan sekadar gerakan tanpa jiwa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar