Oleh Bah Asmul (Tim Redaksi)
Hari kelima Ramadan adalah perahu yang mulai menjauh dari dermaga. Gelombang lapar dan dahaga masih beriak, tetapi dayung kesabaran telah menemukan ritmenya. Jika hari pertama adalah kejutan, dan hari kedua hingga keempat adalah adaptasi, maka hari kelima ini adalah perlintasan menuju ketenangan—seperti embun yang mulai terbiasa jatuh ke dedaunan tanpa takut hilang diterpa mentari.
Puasa adalah samudra luas, dan manusia adalah nelayan yang menebar jala kesabaran. Di siang yang terik, kerongkongan mungkin kering, tetapi di kedalaman jiwa, ada mata air yang tak pernah surut: keikhlasan. Lapar bukan sekadar kosongnya perut, tetapi ruang bagi kesadaran untuk tumbuh. Seperti tanah yang merindukan hujan agar subur, kita pun membiarkan diri menahan demi mengerti makna cukup. Dalam diamnya, puasa adalah dialog paling jujur antara manusia dan dirinya sendiri, antara nafsu dan kehendak luhur, antara dunia dan keabadian.
Hari kelima adalah langkah yang semakin mantap di jalan sunyi menuju ketulusan. Seperti pohon yang meranggas demi menyambut musim semi, kita melepaskan hasrat-hasrat kecil demi mendekap sesuatu yang lebih besar: kedamaian. Teduhnya Ramadan bukan hanya terletak pada dinginnya malam setelah berbuka, tetapi juga dalam dada yang mulai lapang, dalam hati yang perlahan memahami bahwa menahan bukanlah kehilangan, melainkan penyucian.
Ketika senja datang menjingga, kita paham bahwa waktu memiliki cara sendiri untuk mengajarkan arti sabar. Perut boleh kosong, tetapi hati kita penuh. Penuh dengan rasa syukur bahwa masih diberi kesempatan untuk merasakan lapar yang bermakna, bukan kelaparan yang mematikan. Penuh dengan keyakinan bahwa setiap detik menahan diri adalah tapak-tapak menuju ampunan. Hari kelima adalah daun yang semakin hijau dalam musimnya, adalah cahaya yang mulai menghangat di ufuk jiwa.
Ada sejuk yang tak datang dari angin, melainkan dari hati yang ikhlas. Ada kenyang yang tak datang dari makanan, melainkan dari jiwa yang merasa cukup. Ramadan adalah guru yang mengajarkan bahwa dunia ini fana, bahwa yang kita genggam erat pun pada akhirnya harus kita lepaskan. Maka, kita belajar bukan hanya menahan, tetapi juga merelakan—merelakan keangkuhan, melepaskan ketidaktulusan, dan mengikhlaskan segala yang selama ini membebani langkah menuju cahaya-Nya.
Seperti sungai yang setia mengalir ke muara, Ramadan membawa kita mendekat kepada hakikat. Kita menempuh perjalanan batin yang sama, meski dengan dayung yang berbeda. Ada yang mengayuh dengan keimanan yang teguh, ada yang masih belajar menemukan ritmenya. Tetapi satu yang pasti, di penghujungnya, ada lautan kasih-Nya yang menanti. Ada teduh yang lebih abadi daripada sekadar naungan bayang-bayang. Ada cahaya yang lebih lembut daripada sekadar bias senja.
Hari kelima adalah bisikan lembut dari Ramadan, mengingatkan bahwa puasa bukan hanya tentang menahan, tetapi juga tentang menemukan—menemukan diri dalam hening, menemukan makna dalam sabar, menemukan kasih dalam pengorbanan. Dan ketika malam semakin syahdu, kita pun berbisik dalam doa, berharap agar puasa ini tidak sekadar menjadi ritual, tetapi menjadi perjalanan yang mengantarkan kita pulang. Pulang kepada-Nya, dalam teduh yang sejati.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar