Oleh Bah Asmul (Tim redaksi)
Ramadan adalah bulan cahaya. Tapi, bukankah aneh jika justru di bulan ini, kita sering merasa lbh lelah, lbh lapar, dan mungkin lbh emosional? Seolah² kegelapan justru menyelimuti hati kita. Namun, spt malam yg paling gelap sebelum fajar, sering kali di titik terendah itulah cahaya Allah bersinar.
Di hari ke-9 Ramadan ini, mari kita renungkan: sudah sejauh mana hati kita menyerap cahaya ibadah? Puasa bukan cuma menahan lapar & haus, tapi jg ttg melatih diri utk melihat sesuatu dg lebih jernih. Betapa sering kita lbh cepat menilai kesalahan orang lain daripada mengintrospeksi diri sendiri? Betapa mudahnya kita meminta pengertian dari orang lain, tp sulit memberi maaf kepada mereka?
Jika Ramadan adalah bulan pembersihan, maka hari² ini adalah cermin bagi jiwa kita. Kita dpt memilih utk tetap gelisah karena haus & lapar, atau menjadikannya sbg pengingat bhw byk orang di luar sana mengalami kelaparan sbg bagian dari hidup mereka, bukan cuma tantangan sementara. Kita bisa marah karena kantuk dan lelah, atau menjadikannya kesempatan utk berlatih sabar & mengendalikan diri.
Pada malam² Ramadan, saat kita berdiri dlm shalat, hati kita diajak utk berbicara dg Allah lbh dalam. Inilah saatnya merasakan keintiman dengan-Nya, bukan cuma lewat kata², tetapi lewat kesadaran bhw setiap nafas, setiap tetes keringat, dan setiap kelelahan kita, ada dlm pengawasan-Nya. Dan jika kita bersabar, ada ketenangan yg akan datang, spt janji fajar setelah gelapnya malam.
Hari ke-9 ini, mari kita teguhkan niat: Ramadan bukan cuma rutinitas, tp perjalanan menuju cahaya. Kita sedang ditempa, bukan disiksa. Kita sedang dibentuk, bukan dihancurkan. Dan ketika Ramadan berlalu, semoga hati kita tetap bercahaya, bukan hanya selama sebulan, tapi utk selamanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar