03 Maret 2025

Sahur Ketiga

Oleh Bah Asmul (Tim Redaksi)

Di malam yang masih pekat, ketika dunia masih terlelap dalam diam, ada kehidupan yang perlahan menyala. Seperti cahaya lilin yang menembus kegelapan, sahur hadir bukan sekadar sebagai waktu makan, tetapi sebagai jeda kecil yang penuh makna. Di meja-meja sederhana, ada tangan yang meraih sendok dengan mata yang masih berat, ada doa-doa yang meluncur lirih dari bibir yang kering, dan ada lampu-lampu yang menyala di sudut rumah, memberi isyarat bahwa kebersamaan sedang dirayakan dalam sunyi.

Sahur bukan hanya soal mengisi perut sebelum fajar. Ia adalah ritual yang menghadirkan kasih dan perhatian dalam bentuk yang paling sederhana. Seorang ibu bangun lebih awal, memastikan ada sesuatu yang tersaji di meja. Seorang ayah mengecup kepala anak-anaknya yang masih terkantuk, mengingatkan mereka bahwa puasa bukan hanya tentang menahan lapar, tapi juga tentang belajar mengendalikan diri. Di sudut lain, seseorang duduk sendiri, meneguk segelas air dengan keheningan yang menggigit, diiringi kesadaran bahwa rezeki yang ada di hadapan adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan.

Di hari ketiga Ramadan ini, tubuh mulai terbiasa dengan ritme baru, tetapi hati mulai memahami bahwa puasa bukan hanya tentang tidak makan dan minum. Ia adalah latihan untuk menahan lebih dari sekadar lapar dan dahaga—menahan amarah, mengendalikan keinginan, dan mengingat bahwa tidak semua orang memiliki kemewahan untuk memilih.

Menjadi Pengingat

Di meja-meja sahur yang beraneka rupa, ada yang makan dengan riang, menikmati kebersamaan dengan keluarga. Ada yang menyantapnya sendiri, ditemani keheningan yang terkadang terasa begitu berat. Dan ada pula yang bahkan tak memiliki apa pun untuk dimakan, hanya bisa membayangkan makanan yang tak tersedia.

Sahur mengajarkan kita sesuatu yang lebih dalam: bahwa di luar sana, ada yang berpuasa bukan karena ibadah, tetapi karena keadaan. Ada yang lapar bukan untuk beberapa jam, tapi setiap hari. Ada yang menahan haus bukan karena menanti maghrib, tetapi karena air bersih terlalu mahal untuk dimiliki. Maka setiap suapan yang kita nikmati, setiap tegukan air yang kita syukuri, adalah doa bagi mereka yang mungkin hanya bisa berharap.

Cahaya di Ujung Malam

Ketika fajar mulai menyingsing, keheningan sahur perlahan berubah menjadi kesibukan pagi. Kehidupan kembali berjalan seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang tetap tinggal: rasa damai karena hari ini dimulai dengan niat yang benar.

Sahur bukan sekadar ritual. Ia adalah panggilan untuk lebih dekat dengan diri sendiri, dengan keluarga, dengan sesama, dan tentu saja, dengan Tuhan. Ia adalah pengingat bahwa hidup tidak sekadar tentang mengisi perut, tetapi juga tentang mengisi jiwa dengan keikhlasan, kesabaran, dan kasih sayang.

Di hari ketiga Ramadan ini, sahur kembali mengetuk hati kita—mengingatkan bahwa keberkahan sering hadir dalam bentuk yang paling sunyi, dalam detik-detik yang sering kali luput dari perhatian.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar