Oleh Fina Rahmat Indira (Tim redaksi)
Cipadung - Angin malam berembus lembut, membawa kesejukan yang menyelinap di antara bangunan Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islamy (PPMU). Lampu-lampu di beranda menerangi pekarangan dengan cahaya redup yang menambah kesyahduan suasana. Dari kejauhan, langkah-langkah para santri terdengar lirih, seakan mengikuti irama hati yang rindu akan perjumpaan dengan ilmu dan kedekatan kepada-Nya.
Malam itu bukan sekadar malam biasa. Ia adalah bagian dari sepuluh malam pertama Ramadhan—hari-hari di mana rahmat Allah mengalir tanpa batas, menyentuh setiap hati yang mengetuk pintu-Nya.
Di dalam majelis utama, keheningan menyelimuti. Para santri duduk bersila dalam barisan yang rapi, mata mereka tertuju ke depan, menanti untaian hikmah yang akan disampaikan. Sesekali, terdengar suara lembut halaman Al-Qur’an yang dibuka, mengiringi napas yang diatur dalam diam.
Seorang pemateri, berdiri dengan penuh ketenangan. Ia tak segera bicara, membiarkan keheningan bercerita lebih dulu. Ketika akhirnya suara itu mengalun, ia membawa pesan yang menghangatkan jiwa.
10 Hari Pertama Ramadhan: Hari-Hari Penuh Rahmat
Suasana semakin khidmat ketika ia mengutip sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi:
"Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka."
Sekali lagi, keheningan menyergap ruangan. Bukan karena kebisuan, melainkan karena hati yang tengah merenung. Sepuluh hari pertama ini bukan sekadar hitungan waktu, tetapi sebuah gerbang terbuka bagi siapa pun yang ingin kembali. Rahmat Allah begitu luas, menyelimuti siapa saja yang mengetuk pintu-Nya dengan kerendahan hati.
Di antara barisan santri, beberapa terlihat menundukkan kepala, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam relung hati. Ada yang menggenggam tasbih erat, seakan ingin mengabadikan momen ini dalam setiap dzikirnya.
Pemateri melanjutkan dengan sabda lain dari Rasulullah SAW:
"Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya makhluk yang ada di langit akan menyayangi kalian." (HR. Tirmidzi)
Malam semakin larut, namun cahaya di dalam hati semakin menyala. Tausiyah itu bukan sekadar kata-kata, melainkan pelita yang menuntun mereka memahami bahwa kasih sayang Allah hadir dalam setiap sujud, dalam setiap lantunan doa, dalam setiap perbuatan baik yang tulus.
Ketika kultum berakhir, suasana tetap syahdu. Para santri bangkit dengan tertib, melangkah menuju tempat wudhu dengan langkah yang tenang. Beberapa masih mengulang ayat yang baru saja dibahas, seolah ingin mengukirnya lebih dalam di hati.
Gema iqamah berkumandang. Barisan saf mulai terbentuk rapi. Malam itu, mereka tidak sekadar melaksanakan shalat Isya dan Tarawih berjamaah—mereka sedang meneguhkan hubungan dengan Rabb mereka.
Inilah Ramadhan di Pesantren Mahasiswa Universal. Sebuah bulan yang bukan sekadar tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi tentang perjalanan ruhani. Tentang menemukan kembali hakikat diri di bawah cahaya rahmat Ilahi.
Sebelum menutup kajian, pemateri menyampaikan pesan yang lembut namun menggetarkan:
"Semoga kita semua mendapatkan rahmat-Nya dan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya."
Di luar, bulan menggantung tinggi di langit pesantren, cahayanya membias lembut di halaman. Seakan mengamini doa-doa yang baru saja dipanjatkan, mengirimkan sinyal dari semesta bahwa rahmat Allah telah turun, menyentuh hati yang merindu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar