13 Maret 2025

Perjalanan

Oleh Alif (Tim redaksi)

Cipadung - Malam itu lebih hangat dari biasanya. Udara yang berat seolah menekan dada, menyisakan debar halus di setiap hembusan napas. Beberapa santri mengusap peluh di kening mereka, namun tak satu pun beranjak. Mereka tetap duduk bersila di lantai masjid, mata tertuju ke mimbar, menanti kultum sebelum tarawih.

Lampu-lampu masjid memantulkan cahaya lembut pada wajah-wajah yang lelah setelah seharian berpuasa, namun sorot mata mereka tetap penuh semangat. Di tengah keheningan, langkah Teh Alfi Santi terdengar mendekati mimbar. Dengan senyum teduh, ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, memastikan setiap pasang mata menatapnya dengan penuh perhatian. Lalu, dengan suara yang tenang namun menggugah, ia membuka kultumnya dengan sebuah pertanyaan yang menyentuh relung hati: Apa yang sebenarnya kita cari dari puasa?

Sejenak, suasana aula menjadi lebih sunyi. Mungkin sebagian santri berpikir tentang makanan yang mereka rindukan. Mungkin yang lain bertanya dalam hati, apakah puasanya hari ini benar-benar bernilai di sisi Allah?

Teh Alfi melanjutkan, puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Ia adalah perjalanan, latihan besar bagi jiwa kita. Ia membawa kita pada sesuatu yang tak selalu tampak oleh mata, tetapi terasa oleh hati.

Ketakutan yang Menuntun

Malam itu memang panas, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam yang menghangatkan hati para santri: ketakutan.

"Pernahkah kita berpikir, bagaimana jika Ramadan ini berlalu dan kita tidak mendapatkan ampunan dari Allah? Bagaimana jika ini adalah Ramadan terakhir kita?"

Seorang santri di barisan belakang menundukkan kepala. Pertanyaan itu menggema di dalam dirinya.

"Puasa mengajarkan kita bahwa ketakutan itu perlu. Bukan ketakutan yang membuat kita lari, tetapi ketakutan yang membuat kita kembali. Takut kehilangan kesempatan untuk bertaubat. Takut jika Ramadan ini berlalu tanpa ada perubahan dalam diri kita."

Suasana masjid semakin hening. Semua larut dalam renungan masing-masing.

"Tapi ketahuilah," lanjut Teh Alfi, "ketakutan itu tidak seharusnya membuat kita putus asa. Sebaliknya, ia harus menjadi bahan bakar untuk semakin mendekat kepada-Nya."

Riyadhah: Latihan Spiritual

Setelah ketakutan itu meresap ke dalam hati, langkah berikutnya adalah berlatih.

"Jika biasanya kita bisa satu hari satu juz, mengapa setelah Ramadan tidak bisa? Ramadan bukan sekadar tentang menambah ibadah, tetapi juga mempertahankannya setelah bulan ini berlalu."

Beberapa santri yang duduk di barisan depan saling berpandangan. Mereka ingat bagaimana selama Ramadan ini mereka lebih banyak membaca Al-Qur’an. Namun, apakah kebiasaan ini akan tetap bertahan?

Pengorbanan: Menahan untuk Mendapatkan yang Lebih

Teh Alfi tersenyum tipis, lalu berkata, “Biasanya, saat ingin makan, kita bisa langsung membeli ini dan itu. Tapi di bulan puasa, kita lebih sederhana. Kita menahan keinginan. Kita mengorbankan sesuatu yang kita mau demi sesuatu yang lebih besar.”

Seorang santri di sudut ruangan termenung. Ia teringat bagaimana siang tadi ia menahan diri untuk tidak membeli minuman dingin di warung, meskipun rasa haus begitu menyiksa.

"Puasa mengajarkan kita bahwa hidup bukan hanya soal memenuhi keinginan. Kadang, dengan menahan diri, kita justru mendapatkan sesuatu yang lebih berharga."

Tazkiyatun Nafs: Penyucian Jiwa

Malam semakin larut, udara masih panas, tetapi suasana semakin khusyuk.

"Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih hati agar bersih. Penyucian jiwa adalah langkah pertama menuju ketenangan sejati."

Para santri terdiam. Mereka merasakan bagaimana puasa mengajarkan mereka untuk lebih sabar, lebih peka terhadap sesama, dan lebih ikhlas dalam menjalani hidup.

Perjuangan: Melawan Nafsu dan Syahwat

Teh Alfi menghela napas sejenak, lalu berkata dengan penuh ketegasan, “Di bulan Ramadan ini, kita sedang berjuang. Kita tidak hanya melawan lapar, tetapi juga nafsu dan syahwat kita sendiri. Dan tidak semua orang bisa melakukannya.”

"Nafsu itu seperti anak kecil. Semakin dituruti, semakin tak terkendali. Puasa adalah cara kita mendidik nafsu, agar tidak menjadi liar dan merusak diri kita sendiri."

Seorang santri di barisan belakang tampak mengangguk dalam-dalam. Ia tahu betapa sulitnya menahan diri dari godaan, tetapi ia juga sadar bahwa perjuangan ini adalah bagian dari perjalanan menuju kebaikan.

Ikhlas: Ibadah yang Murni

"Ketika kita salat, haji, dan zakat, banyak orang yang tahu. Tapi ketika kita berpuasa, hanya kita dan Allah yang tahu. Tidak ada yang bisa melihat apakah kita benar-benar menahan diri atau diam-diam melanggarnya."

Beberapa santri tersenyum kecil. Mereka sadar, tidak ada yang bisa membohongi Allah.

"Dan itulah mengapa puasa begitu istimewa. Allah sendiri yang langsung memberikan pahalanya. Tidak ada riya dalam puasa, karena ia adalah ibadah yang paling murni antara seorang hamba dengan Tuhannya."

Menyadari Kelemahan, Menemukan Kekuatan

Udara panas semakin terasa, tetapi justru di situlah letak pelajaran terakhir.

"Menyadari kelemahan diri bukanlah untuk membuat kita merasa rendah. Justru, saat seseorang menyadari bahwa dirinya lemah, ia akan semakin dekat dengan Tuhan."

Teh Alfi menatap para santri satu per satu, memastikan mereka memahami makna kata-katanya.

"Saat kita lemas karena lapar, haus, atau lelah setelah seharian beribadah, kita sadar bahwa kekuatan kita terbatas. Kita ini bukan siapa-siapa tanpa pertolongan Allah. Dan ketika kita sadar akan itu, justru itulah yang membuat kita lebih kuat."

Sebuah Penutup yang Menyentuh

Malam semakin larut, tetapi tak satu pun santri kehilangan fokus. Kata-kata Teh Alfi meresap ke dalam hati mereka.

"Ramadan bukan sekadar bulan ibadah. Ia adalah cermin yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Mari jadikan puasa ini bukan hanya menahan lapar, tetapi juga perjalanan menuju hati yang lebih bersih dan jiwa yang lebih tenang."

Kultum pun selesai dan ibadah tarawih dimulai. Suasana masjid yang tadi terasa panas kini justru terasa damai. Para santri bangkit perlahan, bersiap menunaikan salat. Malam ini, mereka bukan hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga sesuatu yang lebih berharga: kesadaran bahwa puasa adalah perjalanan menemukan diri, dan pada akhirnya, menemukan Tuhan.*** 

1 komentar: