05 Maret 2025

Muamalah

oleh Muhamad Seha (Tim Redaksi)

Cipadung - Fajar menyingsing, menyentuh bumi dengan jemari cahaya yang lembut, membangunkan alam dengan bisikan ketenangan. Para santri Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islamy (PPMU), dengan wajah bersih dan hati yang khusyuk, melangkah ringan menuju majelis ilmu, membawa harapan yang mengembang di dada. Ini adalah pagi kelima di bulan Ramadan, di mana setiap embusan napas menjadi dzikir, setiap langkah menuju ilmu adalah ibadah, dan setiap kata yang didengar adalah bekal perjalanan yang tak bertepi.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang terus berdenyut, manusia tak pernah benar-benar sendiri—ia selalu terhubung dalam simpul muamalah yang mengikat sesama. Setiap transaksi, setiap pertukaran, setiap perjanjian adalah napas yang menghidupkan peradaban. Seperti air yang mengalir tanpa henti, muamalah meresap ke dalam sendi kehidupan, dari pasar-pasar kecil di sudut kampung hingga perdagangan besar yang melintasi samudra. Ia adalah denyut yang tak terlihat, tetapi tanpanya, roda kehidupan akan macet di persimpangan.

Ketika kita menatap dunia dengan kacamata yang lebih luas, kita menyadari bahwa hubungan antarnegara pun berakar pada prinsip muamalah. Sebuah bangsa dihormati bukan karena luas wilayahnya atau kekuatan tentaranya, melainkan karena manfaat yang ia sebarkan ke dunia. Begitu pula manusia, keberadaannya bukan diukur dari banyaknya harta yang dikumpulkan, tetapi dari jejak kebaikan yang ia tinggalkan. Dunia tak mengingat mereka yang hanya memiliki, tetapi mengabadikan mereka yang memberi.

Santri Universal: Bergerak Tanpa Iming-Iming dan Amang-amang

Sebagaimana fajar tak meminta tepuk tangan untuk cahayanya, seorang santri pun sejatinya bergerak bukan demi pujian, bukan pula karena iming-iming duniawi. Abi Tatang, panggilan akrab Dr. KH. Tatang Astarudin, menginginkan santrinya tumbuh menjadi insan yang berdaya guna, bukan cuma pengumpul materi, tetapi penggerak kebaikan yang berlandaskan keikhlasan. Santri Universal, ujar Ketua Dewan Pengasuh PPMU itu, adalah mereka yang meniti jalan sunyi, yang memberi tanpa meminta kembali, yang berjalan di bawah cahaya keyakinan bahwa kontribusi adalah hakikat hidup.

Seperti matahari yang terus bersinar meski tak pernah diundang, seperti angin yang menyejukkan tanpa menuntut balasan, santri adalah mereka yang memahami bahwa peran bukan sekadar gelar, dan amal bukan sekadar angka. Mereka bekerja bukan karena takut kehilangan, tetapi karena cinta terhadap pengabdian itu sendiri.

Harta dan Kepemilikan: Antara Hak dan Amanah

Abi Tatang kemudian mengurai hikmah tentang harta dan kepemilikan, menyingkap tabir bahwa tidak semua yang ada di dunia ini boleh diklaim sebagai milik pribadi. Ada hak yang lebih luas, yang melampaui sekat-sekat kepemilikan, seperti lautan yang tak bertepi, seperti udara yang dihirup bersama. Dalam fiqih, laut dikategorikan sebagai ghairu mutaqawam—tak seorang pun boleh mengklaimnya sebagai milik eksklusif. Ia adalah karunia yang terbuka bagi semua, anugerah yang diberikan tanpa perlu dicatat sebagai hak milik.

Namun, jika seseorang ingin memiliki sesuatu, fiqih telah mengajarkan jalannya. Kepemilikan bukan sekadar penguasaan fisik, tetapi juga amanah yang menuntut tanggung jawab. Ada aturan yang menggariskan batas-batasnya: ihrazul mubahat (menguasai sesuatu yang belum dimiliki orang lain), kontrak yang sah, warisan, atau sejarah kepemilikan yang dapat dibuktikan. Kepemilikan sejati bukan tentang siapa yang menggenggam, tetapi tentang siapa yang mampu menjaga dan memberi manfaat dari apa yang dimiliki.

Segitiga Kehidupan: Manusia, Harta, dan Kepemilikan

Sebelum majelis berakhir, Abi Tatang menguraikan konsep yang mengakar dalam kehidupan: hubungan antara manusia, harta, dan kepemilikan bagaikan segitiga yang saling menopang. Manusia adalah pengelola, harta adalah alat, dan kepemilikan adalah jembatan di antara keduanya. Jika satu sisi goyah, keseimbangan akan runtuh.

Fiqih bukan hanya milik para ulama atau mereka yang mendalami hukum Islam secara khusus. Ia adalah kompas bagi setiap insan, sebab muamalah adalah nadi kehidupan. Dan kehidupan, sebagaimana adanya, bukan sekadar perjalanan mencari kepemilikan, tetapi amanah yang harus dijalani dengan kesadaran. Karena sejatinya, manusia tak pernah benar-benar memiliki apa pun—ia hanya dititipi untuk mengabdi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar